Sabtu, 22 Oktober 2016

materi belajar pembelajaran



A.    penentuan materi pelajaran
Materi pelajaran merupakan suatu yang disajikan guru untuk diolah dan kemudian dipahami oleh siswa,dalam rangka pencapaian tujuan –tujuan instruksional yang ditetpkan. Tanpa adanya kegiatan belajar mengajar yang tepat, sulit bagi siswa untuk dapat memahami materi pelajaran yang telah disediakan. Kegiatan belajar mengajar ini mencakup baik kegiatan guru maupun kegiatan murid yang perlu diwujudkan dalam setiap pengajaran untuk dapat mencapai tujuan-tujuan instruksional  yang telah ditetapkan.
            Untuk dapat menentukan materi pelajaran dengan tepat, pertanyaan-pertanyaan berikut perlu dijawab, yaitu :
-          Apa yang dimaksud dengan materi pelajaran dan syarat-syarat apakah yangperlu dimilikinya ?
-          Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam emilih dan menetapkan ateri pelajaran ?
1. pengertian dan persyaratan materi
            Secara umum, pengertian materi pelajaran telah disinggung dalam bagian yang lalu. Dalam perencanaan pengajaran, materi yang perlu ditetpkan dalam langkah ketiga ( setelah perumusan tujuan dan penyusunan alat evaluasi) baru berupa :
a. pokok-pokok bahan: dan
b. rincian setiap pokok bahan.
Ada  beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pelajaran, antara lain : [1]
a. materi pelajaran hendaknya sesuai dengan/menunjang tercapainya tujuan instruksional.
b. materi pelajaran hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan/ perkembangan siswa pada umumnya.
c.     materi pelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik danberkesinambungan.
d.         materi pelajaran hendaknya menncakup hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual.
2. Cara Pemilihan
            Dengan mengacu pada uraian yang telah dikemukakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih/menetapkan materi pelajaran:[2]
a. tujuan pengajaran
materi pelajaran hendaknya ditetapkan dengan mengacu pada tujuan-tujuan instruksional yang dicai.
b. pentingnya bahan.
Materi yang diberikan hendaknya merupakan bahan yang betul-betul penting, baik dilihat dari tujuan yang ingin dicapai maupun fungsinya untuk mempelajari bahan berikutnya.
c. nilai praktis
materi yang dipilih hendaknya bermakna bagi para siswa, dalam arti mengandung nilai praktis/bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.
d. tingkat perkembangan peserta didik.
Kedalaman materi yang dipilih hendaknya ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan berfikir siswa yang bersangkutan, dalam hal ini biasanya telah dipertimbangkan dalam kurikulu sekolah yang bersangkutan.
e. Tata urutan
materi yang diberikan hendaknya ditata dalam urutan yang memudahkan dipelajarinya keseluruhan materi oleh peserta didik atau siswa.
B. Penentuan metode mengajar
            Dalam bagian yang lalu, telah diuraikan pengertian dan cara pemilihan materi pelajaran dalam rangka kegiatan perencanaan pengajaran. Disamping itu, telah disinggung pula bahwa setelah pemilihan/penetapan kegiatan belajar mengajar.
1. jenis-jenis metode mengajar
 Ada sejumlah metode yang biasa digunakan dalam kegiatan mengajar, antara lain ialah : metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, percobaan/experimen, latihan simulasi, kerja kelompok, karya wisata, dan sosiodraa atau bermain perang ( role-playing).
            Analisis singkat tentang masing-asing metode mengajar tersebut dapat diikuti dalam uraian-uraian berikut:[3]
  1. Metode ceramah
Metode ceramah merupakan cara mengajar yang paling tradisional dan telah lama dilaksanakan oleh guru.
Ceramah adalah penuturan bahan pelajaran secara lisan. Metode ini tidak senantiasa jelek bila penggunaannya betul-betul disiapkan dengan baik , didukung dengan alat dan media serta memperhatikan batas-batas kemungkinan penggunaannya.
Cara mengajar dengan ceramah dapat dikatakan juga sebagai metode kuliah, merupakan cara mengajar yang digunakan untuk menyampaikan keterangan atau informasi , atau uraian tentangsuatu pokok persoalan serta masalah secara lisan.
  1. Metode tanya jawab
Metode tanya jawab adalah metode mengajar yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung yang bersifat dua arah sebab pada saat yang sama terjadi dialogantara guru dan siswa. Guru bertanya siswa menjawab, atau siswa bertanya guru menjawab. Dalam komunikasi initerlihat adeanya hubungan timbal balik secara langsung antara guru dan siswa.
  1. Metode diskusi
metode diskusi pada dasarnya adalah bertukar informasi, pendapat, dan unsur-unsur pengalaman secara teratur dengan maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih cermat tentang permasalahan atau topik yang sedang dibahas. Dalam diskusi, setiap orang diharapkan memberikan sumbangan pikiran, sehingga dapat diperoleh pandangan dari beberapa sudut berkenaan dengan masalah tersebut. Dengan sumbangan dari setiap orang , kelompok diharapkan akan maju dari setiap pemikiran ke pemikiran yang lain, langkah demi langkah, sampai dihasilkan pemikiran yang lengkap mengenai permasalahan atau topik yang dibahas.
  1. Metode demonstrasi
Metode demonstrasi merupakan metode mengajar yang cukup efektif, sebab membantu para siswa untuk memperoleh jawaban dengan mengamati suatu proses atau peristiwa tertentu. Metode demonstrasi merupakan metode mengajar yang memperlihatkan bagaimana proses terjadinya sesuatu, di mana keaktifan biasanya lebih banyak pada pihak guru.

  1.  Metode eksperimen
Jika dalam metode demonstrasi, keaktifan lebih banyak pada pihak guru, metode experimen langsung melibatkan para siswa melakukan percobaan untuk mencari jawaban terhadap permasalahan yang diajukan. Experimen sering dilakukan dalam pengajaran bidang studi IPA, dimana metode ini merupakan unsur pokok dalam pendekatan inquiri dan discovery (belajar dengan menemukan)
  1.  Metode pemberian tugas
Metode ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada siswa melakukan tugas/kegiatan yang berhubungan dengan pelajaran serta mengerjakan soal-soal, mengumpulkan kliping , dan sebagainya. Metode ini dapat dilakukan dalam bentuk tuga/kegiatan individual ataupun kerja kelompok, dan dapat merupakan insur penting dalam pendekatan pemecahan masalah atau problem solving.
g.      Metode karyawisata
Melalui metode ini, siswa-siswa diajak untuk mengunjungi tempat-tempat tertentu diluar sekolah. Tempat-tempat yang akan dikunjungi dan hal-hal yang perlu diamati telah direncanakan terlebih dahulu, dan setelah selesai melakukan kunjungan, siswa-siswa diminta untuk membuat/menyampaikan laporan.
h.      Metode sosiodrama
Metode sosiodrama atau bermain peran, merupakan metode yang sering digunakan dalam mengajarkan nilai-nilai dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam hubungan sosial dengan orang-orang dilingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Dalam pelaksanaannya, siswa diberi berbagai peran tertentu dan melaksanakan peran tersebut serta mendiskusikannya di kelas.
Yang penting untuk disadari ialah bahwa tepat tidaknya suatu metode mengajar, tergantung pula pada jenis tujuan instruksional yang ingin dicapai, di samping faktor-faktor lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak ada satupun metode yang tepat untuk semua tujuan, dan bahkan untuk mencapai tujuan pun kadang-kadang diperlukan lebih dari satu metode.  
 2.Pemilihan Metode Mengajar
            ­Untuk memilih metode mengajar yang akan dalam rangka perencanaan pengajaran, perlu dipertimbangkan  faktor-faktor tertentu antara lain: kesesuaiannya dengan tujuan instruksional serta keterlaksanaannya dilihat dari waktu dan sarana yang ada.[4]



[1]  R. Ibrahim dan Nana Syaodih S. Perencanaan Pengajaran.(Jakarta:Rineka Cipta,2010). .Hlm. 102
[2] Ibid.,Perencanaan Pengajaran…, hlm. 104
[3] Ibid.,Perencanaan Pengajaran…, hlm.106-107
[4] Ibid.,Perencanaan Pengajaran…, hlm. 108

Rabu, 19 Oktober 2016

makalah sejarah ALI BIN ABI THALIB


PENDAHULUAN
     A.    Latar Belakang Masalah.
  Ali bin Abi Thalib adalah khalifah keempat dan terakhir dari suatu dinasti yang ada dalam sejarah islam atau yang lebih dikenal dengan dinasti Khulafa al-Rasyidin. Pemilihan beliau sebagai khalifah menggantikan Usman yang wafat pada tahun 35 H, melalui cara yang berbeda dari pemilihan khalifah sebelumnya.
  Selama masa pemerintahannya yang  kurang dari 5
tahun, beliau menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Beliau menghadapi berbagai tantangan yang dilancarkan oleh  Thalhah cs, Mu’awiyah, dan Khawarij yang mengakibatkan terjadinya perang.
  Peperangaan yang pecah beberapa kali pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib menjadi sangat penting dalam catatan sejarah islam, sebab peristiwa itu memperlihatkan sesuatu yang baru, dan menarik untuk ditelusuri sebab diantara beberapa khalifah pendahulunya belum pernah ada yang turun langsung di medan perang selain beliau dan sekaligus menjadi panglimanya, hanya saja sejarah mencatat bahwa peristiwa itu justru terjadi antar sesama saudara muslim.
B.     Rumusan Masalah                     
      Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas pada bab berikutnya, yaitu:
1.          Bagaimana proses pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah?
2.          Siapakah yang dimaksud dengan Talhah cs.
3.          Mengapa Thalhah cs, Mu’awiyah dan Khawarij menentang Ali?
4.          Bagaimana perjuangan Ali menghadapi para penentangnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Profil Ali ibn Abi Thalib
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi. Sewaktu lahir beliau bernama Haydar (al-Hayadarah) oleh ibunya yang bernama Fatimah binti As’ad, namun kemudian diganti oleh ayahnya yang bernama Abu Thalib ibn Abd Muththalib dengan nama Ali. Beliau juga gelar Abu Thurab (Si Bapak debu-tanah) oleh nabi karena pernah dijumpai tidur diatas tanah.[1][1]
Saudara sepupu dan putra angkat nabi ini lahir di dalam Ka’bah pada 600 M., tahun 23 sebelum hijrah. Beliau tergolong generasi pertama yang memeluk islam setelah Khadijah binti Khuwailid, sesaat setelah al-Qur’an memerintahkan nabi untuk memberi peringatan kepada kerabat-kerabatnya.[2][2] 
            Sejak memeluk islam, beliau selalu bersama dengan rasulullah saw. Taat kepadanya dan banyak menyaksikan proses turunnya wahyu. Sebagai anak asuh yang dibesarkan di rumah nabi. Sejak kecilnya beliau sangat disayangi sehingga tatkala tiba usia dewasa, beliau dinikahkan dengan putri nabi yang bernama Fatimah.[3][3]
            Ali dikenal sangat zahid dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan pada dirinya, melainkan juga kepada putra-putrinya.
      Ali adalah sahabat yang sangat disegani karena kepiawaiannya dalam banyak macam ilmu pengetahuan, baik soal hukum, rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoritis dan praktis. Rasulullah sendiri memujinya sebagaimana sabdanya: Aku adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah kuncinya[4][4]
      Disamping cerdas, Ali juga dikenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-lawannya. Beliau mempunyai sebilah pedang warisan dari rasululullah saw.bernama “Zul Fiqar”[5][5] Beliau turut serta pada hampir semua peperangan yang terjadi pada masa rasulullah saw. dan selalu menjadi andalan di barisan terdepan.
B. Ali ibn Abi Thalib: Khalifah, Perjuangan  dan Tantangan.
      Pada saat Abu Bakar menjadi khalifah di usianya yang keenam puluh, Ali saat itu adalah sudah menjadi tokoh muda yang energik yang baru berusia tiga puluh tahunan, namun orang-orang disekitarnya selalu meminta pandangan-pandangannya dalam berbagai hal. Ali tetap menyatakan kesetiaannya kepada ketiga khalifah dan mengakui abilitas dan integritasnya. Ali memiliki kontribusi yang besar dalam usaha konsolidasi kekuatan islam, yang sedang menghadapi berbagai tantangan sepeninggal rasululullah saw. meskipun beliau dianggap salah seorang yang paling pantas untuk menggantikan rasulullah, beliau tidak menampilkan diri untuk menjadi kandidat khalifah. Beliau malah menolak tawaran yang diajukan oleh Abbas (paman nabi), dan Abu Sofyan yang secara sukarela menyatakan dukungan dan kesetiaannya pada Ali untuk menjadi khalifah. Beliau ditempatkan oleh banyak kalangan dalam sederetan negarawan ulung yang ditandai dengan sikap legowo, setia mendukung Abu Bakar, Umar, Utsman sebagai khalifah.[6][6]
      Posisi terhormat Ali ibn Abi Thalib tergambar dari kebijakan Umar bin Khattab atas pengangkatannya dalam komisi Syura “Komisi Pemilih” di penghujung usianya.[7][7] Komisi ini bertugas memilih khalifah penerus tonggak kepemimpinan.
      Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan Ali ibn Abi Thalib senantiasa memberi nasehat agar beliau bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan penyelewengan yang mengatas namakan dirinya, namun nasehat-nasehat tersebut tidak ditanggapi. Akibatnya, orang-orang yang tidak setuju kepadanya melancarkan protes dan huru-hara. Utsman bin Affan memimpin kekhalifahan selama 12 tahun namun para sejarawan mencatat bahwa tidak seluruh masa kepemimpinannya meraih kesuksesan. Enam tahun pertama merupakan masa pemerintahan yang baik enam tahun berikutnya masa pemerintahan yang buruk.[8][8] Paruh terakhir kepemimpinan khalifah Utsman menghadapi banyak pemberontakan dan oposisi sebagai bentuk protes ummat islam atas kebijakan pemerintahannya yang cenderung terlalu mengakomodir kepentingan-kepentingan Bani Umayyah.[9][9]
      Ketidak puasan yang membara itu meledak dalam bentuk pemberontakan pada tahun 35 H./656 M., ketika rombongan pemberontak dari Bashrah dan Mesir bergerak ke Madinah di bawah kepemimpinan para Qurra(oposisi kaum shaleh).[10][10] Dalam keadaan terdesak, Utsman meminta bantuan kepada Ali. Ketika itu Ali berupaya memadamkan kekacauan sekuat mungkin, tetapi keadaan sangat sulit. Ketika rumah Utsman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein untuk bersiaga di rumah Utsman dan melindunginya dari kerumunan orang. Akan tetapi karena pemberontak berjumlah besar dan sudah kalap, mereka didesak dan didorong ke samping oleh massa, sehingga nyawa khalifah Utsman tidak dapat diselamatkan.[11][11]
      Dalam suasana keruh menyusul pembunuhan khalifah Utsman, pandangan orang mulai mengarah kepada Ali ibn Abi Thalib. Banyak yang menyebutkan posisi dan keutamaan beliau.[12][12] Kaum muslimin di Madinah didukung oleh ketiga-tiga pasukan yang datang dari Mesir, Basrah dan Kufah, meminta kesediaan Ali untuk dibai’at menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa tidak ada lagi selain Ali yang patut menduduki kursi khalifah setelah Utsman.[13][13]
      Pada saat itu, stabilitas keamanan di kota Madinah menjadi rawan, disaat yang sama kebingungan melanda kota, penduduk dihantui perasaan takut dan tidak tenang, hukum tidak berlaku, para sahabat bertebaran di berbagai kota, apalagi pada waktu itu bertepatan dengan musim haji, banyak diantara sahabat-sahabat terkemuka yang menunaikan ibadah haji, diantaranya adalah Aisyah r.a. Kecuali beberapa diantaranya yang tetap berada di Madinah di bawah pimpinan Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Sedangkan mereka itu tidak semuanya menyokong Ali.[14][14] Walaupun demikian  Ali tetap dibai’at sebagai khalifah keempat oleh mayoritas sahabat yang ada di Madinah, termasuk didalamnya Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam serta para pemberontak.
      Peristiwa pembai’atan ini terjadi pada hari Jum’at,13 Dzul Hijjah 35 H./23 Juni 656 M di Mesjid Nabawi, seperti pembai’atan para khalifah sebelumnya.[15][15]
      Ali sendiri sesungguhnya tidaklah terlalu berambisi dengan jabatan itu, pada awalnya beliau menampik[16][16] dengan mengatakan bahwa Thalhah dan Zubairlah yang lebih cocok untuk menempati posisi kekhalifahan tersebut. Hanya karena terus-menerus didesak, kemudian dukungan yang datang makin gencar, akhirnya beliau menerima jabatan tersebut.
      Seperti halnya ketiga khalifah sebelumnya, sesaat setelah terpilih, khalifah Ali juga menyampaikan pidato sambutan khalifah yang diawali dengan ucapan syukur dan puja-puji kepada Allah swt. Diiringi dengan shalawat kepada Nabi dan keluarganya, kemudian dilanjutkan:
                  “Hadirin saudaraku, kalian telah membai’at saya sebagaimana yang telah kalian lakukan terhadap khalifah-khalifah sebelum saya. Saya hanya boleh mengelak sebelum jatuh pilihan, tetapi kalau pilihan telah dijatuhkan , maka saya tak dapat lagi menolak. Imam atau pemimpin harus teguh dan rakyat mesti patuh. Bai’at terhadap diri saya ini adalah bai’at yang rata dan umum. Barang siapa yang ingkar darinya terpisahlah ia dari agama Islam.”
                  “Kaum muslimin sekalian, sesungguhnya Allah ta’ala telah menurunkan al-Qur’an yang didalamnya terdapat petunjuk-petunjuk tentang kebaikan dan keburukan. Maka ambillah yang baik niscaya kalian akan memperoleh petunjuk yang benar, dan jauhilah yang jelek agar kalian terhindar dari akibat buruknya.”
                  Allah ta’ala mengharamkan sesuatu dan ada pula yang dihalalkannya. Perhatikanlah sungguh-sungguh dan kerjakanlah yang halal itu serta tinggalkanlah yang haram, pasti kalian akan diantar ke surga. Taatilah perintah Allah dan janganlah berbuat maksiat. Suatu pekerjaan hendaklah ditunaikan secara ikhlas. Seorang muslim ialah mereka yang tidak menyakiti sesamanya, baik dengan lidah (kata) maupun dengan anggota tubuhnya ( sikap dan perbuatan). Tidak boleh mengambil harta bendanya tak juga boleh mencela perangainya, kecuali dengan alasan yang benar.”
                  “Hendaklah kalian saling berpacu dalam memperbanyak perbuatan kebajikan untuk kepentingan masyarakat. Janganlah takut menghadapi kematian, karena bagaimanapun juga kematian pasti bakal datang menjemput dimana saja. Jagalah ketakwaan kamu kepada Allah swt. Dan jangan menentangnya. Hindarilah mengambil harta orang lain, sebab kamu nanti akan ditanyai Allah apa saja yang kamu kerjakan, walau urusan terhadap hewan sekalipun. Kalau melihat kebaikan hendaklah kalian lakukan dan jika tampak olehnya kejahatan, maka jauhi dan tinggalkanlah.”[17][17]
      Segera setelah dibai’at, khalifah Ali mengambil langkah-langkah politik[18][18], yaitu:
a.       Memecat para pejabat yang diangkat oleh Utsman, termasuk didalamnya beberapa gubernur lalu menunjuk penggantinya.
b.      Mengambil tanah yang telah dibagikan Utsman kepada keluarga dan kaum kerabatnya.
c.       Memberikan kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari bait al-mal, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar, pemberian dilakukan secara merata, tanpa membedakan sahabat yang lebih dulu memeluk agama Islam atau yang belakangan.
d.      Meninggalkan kota Madinah dan menjadikan kota Kufah sebagai pusat pemerintahan.
1. Tantangan dari Thalhah cs
            Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib diwarnai dengan berbagai pemberontakan. Tidak berselang lama setelah mengambil kebijakan-kebijakan, beliau menghadapi tantangan dari berbagai pihak diantaranya Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah. Mereka-mereka inilah yang menuntut khalifah agar segera menghukum para pembunuh Utsman. Dan yang sangat  disayangkan, pihak-pihak yang terlibat langsung menyaksikan terjadinya tragedi tersebut juga ikut menuntut.
            Ada juga yang berpendapat bahwa pemberontakan itu dilatar belakangi oleh keinginan Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah, akan tetapi mereka tidak mempunyai cukup dukungan.[19][19]
            Sementara itu Aisyah ikut terlibat karena diminta oleh anak angkatnya yang juga keponakannya sendiri, Abdullah bin Zubair yang juga berambisi menjadi khalifah. Dan juga, konon Aisyah dari dulu tidak akur dengan Ali. Thalhah dan Zubair bertemu dengan Aisyah dalam perjalanannya ke Mekkah dengan alasan pergi Haji.[20][20]
            Akan tetapi tuntutan mereka sangat sulit dikabulkan oleh khalifah dengan alasan: pertama, karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat itu adalah memulihkan ketertiban dan mengkonsolidasikan kedudukan kekhalifahan. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah sebab khalifah Utsman tidak dibunuh oleh satu orang saja, melainkan banyak orang dari Mesir, Irak, dan Arab yang secara langsung terlibat dalam perbuatan makar tersebut.
            Sementara itu, di Mekkah telah berkumpul para tokoh oposisi yang menginginkan agar hukuman segera dijatuhkan kepada para pembunuh utsman, gubernur-gubernur yang diangkat pada masa utsman yang berasal dari Bashrah dan Yaman telah membawa semua dana yang mampu mereka bawa ke Mekkah ketika mereka dinyatakan dipecat dari jabatannya oleh khalifah Ali. Lalu uang tersebut mereka pergunakan untuk mempersenjatai kekuatan mereka yang direncanakan untuk menghajar Bashrah, setelah itu mereka kemudian mencari dukungan dari Aisyah.
            Namun khalifah Ali mendengar rencana mereka itu, dengan cepat beliau mempersiapkan pasukannya dan menyusul mereka ke Bashrah. Sesampai disana, khalifah tidak segera menyerang, tetapi berupaya untuk berdamai dengan mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka mau berunding. Namun tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai sehingga kontak senjata yang dahsyat pun tidak dapat dielakkan lagi.
            Peperangan yang terjadi pada tahun 36 H.di Khuraibah (seputar kota Bashrah) terkenal dengan nama “Perang Unta” (jamal), karena dalam peperangan itu Aisyah menunggangi unta. Peperangan tersebut memakan banyak korban, kurang lebih 20.000 kaum muslimin gugur dalam peristiwa perang tersebut. Peperangan itu berhasil dimenangkan oleh Khalifah. Thalhah dan Zubair ikut terbunuh ketika hendak melarikan diri, sementara Aisyah berhasil ditawan dan dikawal kembali ke Madinah dengan penuh penghormatan sebagai Ummul Mu’minin, sedangkan beliau tetap berada diatas untanya.[21][21]
            Segera setelah menyelesaikan gerakan Thalhah cs, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke kota Kufah. Madinah Sejak saat itu berakhir menjadi ibu kota kedaulatan Islam, dan tidak ada lagi khalifah yang berkuasa berdiam disana.
2. Tantangan dari Mu’awiyah
            Seperti halnya Thalhah cs, kebijakan-kebijakan khalifah Ali juga mengakibatkan timbulnya pemberontakan dari Mu’awiyah selaku gubernur Damaskus(Syiria) yang diangkat oleh Utsman, Mu’awiyah enggan menyerahkan jabatannya kepada pejabat baru. Namun sikap pembangkangan ini tidak ditindaki dengan tegas oleh khalifah Ali, khalifah hanya mengirim surat undangan untuk datang menghadap kepada khalifah dan sekaligus menyatakan kesetiaannya pada Ali sebagai khalifah. Tetapi Mu’awiyah menolak hingga akhirnya berkobar lagi pertempuran antar sesama muslim.
            Khalifah Ali beserta pasukannya bergerak meninggalkan Kufah menuju Syam.Mendengar berita kedatangan mereka, Mu’awiyah dan pasukannya bersiap-siap menghadang diluar kota. Kedua pasukan bertemu di suatu tempat yang bernama Siffin[22][22]. Yang kemudian menjadi nama atas perang tersebut.
            Pada peperangan yang terjadi pada tanggal 1 shafar 37 H./657 M. di dekat sungai Eufrat tersebut, khalifah mengerahkan 50.000 pasukan. Setelah perang berlangsung beberapa hari, pasukan Mu’awiyah terdesak dengan gugurnya 7.000 pasukannya dan tanda-tanda kemenangan terlihat dipihak Khalifah Ali.[23][23]
            Pada saat Mu’awiyah dan tentaranya terdesak Amr bin Ash sebagai penasehat Mu’awiyah yang dikenal cerdik dan pandai berunding, meminta agar Mu’awiyah memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf al-Qur’an di ujung tombak sebagai isyarat berdamai dengan cara tahkim (arbitrase) dengan demikian Mu’awiyah terhindar dari kekalahan total.
            Mendengar tawaran itu, para imam yang berada di pihak khalifah mendesak agar tawaran pihak Mu’awiyah itu diterima. Dengan demikian, dicarilah jalan damai dengan mendakan hakam(perundingan damai). Perundingan berlangsung pada bulan Ramadhan, dimana masing-masing pihak menunjuk wakil yang akan menjadi hakim (juru penengah). Dari pihak Mu’awiyah ditunjuk Amr bin Ash sedang dari pihak khalifah Ali ditunjuk Abu Musa al-Asy’ari.[24][24] Kedua hakim itu mempunyai watak dan sikap yang sangant berbeda. Amr bin Ash dikenal pandai berpolitik sementara Abu Musa al-Asy’ari adalah orang yang lurus, rendah hati dan mengutamakan kedamaian.
            Seusai perundingan, Abu Musa sebagai yang tertua dipersilahkan untuk berbicara lebih dahulu. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnyata antara mereka berdua, Abu Musa menyatakan pemberhentian Ali dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkan urusan penggantiannya kepada kaum muslimin. Tetapi ketika tiba giliran Amr bin Ash,  ia menyatakan persetujuannya atas pemberhentian Ali  dan menetapkan jabatan khalifah bagi Mu’awiyah. Ternyata Amr bin Ash menyalahi kesepakatan semula yang dibuat bersama Abu Musa. Sepak terjangnya  dalam peristiwa ini merugikan pihak Mu’awiyah.Ali menolak keputusan tahkim tersebut, dan tetap mempertahankan kedudukannya sebagai khalifah.
3. Tantangan dari Khawarij
            Sikap khalifah Ali yang menerima tawaran berdamai dari pihak yang semula menyikong beliau dalam menumpas pemberontakan Mu’awiyah itu kemudian keluar dari barisan dan bahkan berbalik memusuhinya. Oleh sebab itu mereka dinamai kaum “Khawarij”(orang-orang yang keluar). Dalam keyakinan mereka yang setuju ber-tahkim telah melanggar ajaran agama. Menurut mereka, hanya tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia. Semboyan mereka adalah “La Hukma Illa Billah” (tiada hukum kecuali bagi Allah). Ali dan pasukannya dinilai telah berani membuat keputusan hukum, yaitu berunding dengan lawan.[25][25]
            Kelompok Khawarij menyingkir ke Harurah, sebuah desa dekat Kufah. Disana mereka mengangkat pemimpin sendiri, Syibis bin Rubi’it al-Tamimi sebagai panglima angkatan pereang dan Abdullah bin Wahan al-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan. Setelah itu mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur khalifah dan orang-orang yang menyetujui tahkim, termasuk didalamnya Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari.[26][26]
            Untuk menghadapi situasi itu, khalifah terpaksa berangkat dengan tentaranya untuk menghadapi Khawarij. Mula-mula khalifah berpidato mengajak mereka supaya taat dan kembali ke barisannya. Akan tetapi mereka enggan dan menjawab:
“ Kami telah menjadi kafir karena ber-tahkim kepada manusia oleh karena itu kami bertobat kepada Allah dan kembali kepada Islam. Kini akuilah bahwa dirimu juga telah menjadi kafir,karena itu hendaklah bertobat kepada Allah dan kembali kepada Islam, sebagaimana yang telah kami lakukan.”
Khalifah Ali mencela tuntutan mereka yang begitu rendah, karena itu beliau berkata kepada mereka:
“Apakah sesudah aku beriman,berhijrah dan berjihad bersama Rasulullah lalu aku mengakui diriku menjadi kafir? Diriku tak pernah kembali kepada kekafiran sekejap pun semenjak aku beriman kepada Allah.”
Kemudian mereka menjawab:
“Kami tak hendak berbicara denganmu selain ini. Hanya peranglah yang akan menentukan antara kami dan kamu.”[27][27]
Mendengar pernyataan ini, khalifah segera mengatur pasukan-pasukannya dan bersiap-siap untuk memerangi mereka. Posisi khalifah saat itu serba sulit. Di satu pihak, Beliau ingin menghancurkan Mu’awiyah yang semakin kuat di Syam, sementara di pihak lain kekuatan Khawarij akan menjadi sangat berbahaya jika tidak segera ditumpas. Akhirnya khalifah mengambil keputusan untuk menumpas kekuatan Khawarij terlebih dahulu, kemudian menyerang Syam.[28][28]
Pertempuran sengit antara pasukan khalifah dan pasukan Khawarij terjadi di Nahrawan (di sebelah timur Baghdad) pada tahun 38 H. dan berakhir dengan kemenangan di pihak khalifah. Kelompok Khawarij berhasil dihancurkan dalam waktu singkat, hanya sebagian kecil yang dapat meloloskan diri. Pemimpin mereka Abdullah bin Wahab al-Rasibi ikut terbunuh.
Sejak itu kaum Khawarij menjadi lebih radikal. Kekalahan di Nahrawan menumbuhkan dendam di hati mereka, sehingga secara diam-diam mereka mereka merencanakan pembunuhan terhadap tiga orang yang dianggap sebagai biang keladi perpecahan umat. Tiga orang yang dimaksud adalah Ali bin Abi Thalib, Amr bin Ash dan Mu’awiyah. Pelaksana tugas atas rencana pembunuhan tersebut terdiri dari tiga orang pula, yaitu: Abd. Rahman bin Muljam ditugaskan untuk membunuh khalifah di Kufah, Barak bin Abdillah al-Tamimi ditugaskan untuk membunuh Mu’awiyah di Syam, dan Amr bin Abu Bakar al-Tamimi ditugaskan untuk membunuh Amr bin Ash di Mesir. Namun diantara mereka, hanya Abd.Rahman bin Muljam saja yang berhasil menunaikan tugasnya. Ia menusuk khalifah Ali dengan pedang beracun ketika beliau hendak shalat subuh di Mesjid Kufah. Dua hari kemudian khalifah Ali menghembuskan nafas terakhirnya yaitu pada tanggal 19 Ramadhan 40 H./ 25 Januari 661 M. Dalam usia 63 tahun.[29][29]
BAB III
KESIMPULAN
  Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Khalifah Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan dan setelah kaum  muslimin di Madinah, Mesir, Basrah dan Kufah datang secara beramai-ramai membaiat beliau.
2.      Yang dimaksud dengan Talhah ca sebagai sahabat yang pertama tama melancarkan perlawanan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib ialah Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah.
3.      Thalhah dan kawan-kawan melancarkan perlawanan kepada khalifah Ali karena tuntutan mereka agar para pembunuh khalifah Utsman segera dihukum namun hal ini tidak terpenuhi, demikian pula alasan pemberontakan Mu’awiyah, disamping pembangkangannya yang enggan melepaskan jabatannya  sebagai gubernur Damaskus. Sementara Khawarij menentang khalifah Ali karena beliau menerima tawaran dari Mu’awiyah untuk bertahkim.
4.      Dalam perjuangannya melawan para pemberontak dalam beberapa peperangan yang terjadi, khalifah berhasil meraih kemenangan kecuali dengan Mu’awiyah. Pihak khalifah kalah oleh kelicikan Amr bin Ash penasehat Mu’awiyah.